Aspek Hukum Dalam Ekonomi | Kasus dan Analisa Sengketa dalam ekonomi |Ika Setia Rini |23216396|2EB22
Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus
tahun 1998. Warga di sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara
memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang
dianggap miliknya. Di lain pihak, menurut keterangan TNI AL, lahan yang
diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL yang diperoleh dengan pembelian
yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang tersebar di dua kecamatan,
yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung,
Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang, Gejugjati, Tamping,
dan Alas Telogo.
Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp
77,66 juta dan rencananya digunakan untuk pusat pendidikan dan latihan TNI AL
yang terlengkap dan terbesar. Karena belum memiliki dana, agar tidak telantar,
tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan menempatkan 185 keluarga
prajurit.
Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL
No Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini
Yasbhum (Yayasan Sosial Bhumyamca) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai
lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai
pekerja.
Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah
yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak 20 Januari 1986 dapat terealisir
BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676
hektare. Meski demikian masih ada penduduk yang belum melaksanakan pindah dari
tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20 November 1993 Bupati Pasuruan
mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya perihal usulan
pemukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Kemudian Bupati
Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari 1998 untuk mengusulkan
bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan seluas 500
meter persegi per KK.
Dari catatan media Surya, dalam setahun
terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan pantura oleh warga, yakni 14
Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga Desa Alas Telogo,
Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan menggugat kepemilikan tanah
itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu. Gugatan itu ditempuh
256 warga, namun mereka dinyatakan kalah oleh PN Bangil dalam sidang 12 Maret
lalu. Munculnya keputusan tersebut membuat warga marah hingga berujung pada
bentrokan dengan polisi seusai sidang putusan. Sebelum persidangan itu, yakni
pada 15 Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik meresmikan Prokimal sebagai
pusat latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa yang berjumlah sekitar 5.700
keluarga rencananya direlokasi ke bagian yang aman. “Sesuai pesan Panglima TNI,
2007 ini lahan akan di-set up ulang sebagai pusat latihan tempur untuk
meningkatkan profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk relokasi warga, karena ada
niatan baik dari kami, tidak akan terjadi masalah seperti saya utarakan di
hadapan warga,” kata Laksda Moekhlas Sidik saat meresmikan Prokimal sebagai
Puslatpur.
Janji untuk merelokasi warga kemudian
diwujudkan, dan 360 hektare tanah diberikan kepada warga di 11 desa yang
ditempatkan di luar sabuk batas tempat latihan tempur.
“Sesuai Keputusan KSAL, lahan Prokimal
dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702 rumah direlokasi di luar garis
latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi sekaligus bentuk pelepasan
dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya relokasi, TNI AL dan
Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-masing,” tandas Moekhlas Sidik
didampingi Bupati Pasuruan Jusbakir Aldjufri kepada wartawan seusai bertemu
dengan 11 kepala desa mewakili warga di lahan Prokimal Grati, 22 Maret lalu.
Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan
lahan sebesar 20 persen untuk pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan
ini, diharapkan masyarakat tidak resah karena jaminan keamanan tidak terkena
peluru nyasar serta adanya keputusan hukum atas tanah yang dimilikinya.
Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut
positif Pemkab Pasuruan, bahkan Pemkab mengusulkan anggaran untuk relokasi itu
ke pemerintah pusat ditambah dengan anggaran dari APBD Kabupaten Pasuruan.
Meski TNI AL memberikan tanah seluas 360
hektare kepada warga 11 desa, namun para kepala desa saat itu tidak berani
menerimanya dan hanya akan menyampaikan lebih dulu kepada warga. Alasannya,
lahan 500 meter persegi dianggap kurang untuk memenuhi kebutuhan warga.
Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus
tanah dengan jalan damai itulah, tiba-tiba terjadi insiden antara Marinir
dengan warga Rabu (30/5), yang menyebabkan empat warga tewas dan enam lainnya
luka-luka.
Sengketa masalah tanah antara warga dengan TNI
di Kabupaten Pasuruan bukan hanya terjadi di lahan Prokimal, Grati. Di Raci,
Kecamatan Bangil, juga terjadi kasus sengketa tanah serupa antara warga dengan
TNI Angkatan Udara (AU). Namun dalam kasus Raci ini, pihak TNI AU telah
memberikan lampu hijau untuk pengelolaan lahan dengan porsi 60:40 untuk TNI AU
dan warga Desa Raci.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada
umumnya sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi,
bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh
dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama memang telah terendap.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian
besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual,
namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan secara komunal inilah yang
memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan massal yang menelan
banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap menanggung
akibat yang paling berat.
Pada
konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika
ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat
cukup diberi ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat
yang gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka
yang menolak ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shock
therapy dengan teror, intimidasi, dan tindakan refresi.
Cerita semacam ini kiranya bukan hanya
tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru. Di alam keindonesiaan kita hari ini
yang konon tengah menyuarakan reformasi, berbagai bentuk intimidasi dan
kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat masih kerap terjadi dalam
konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya. Sebut saja,
kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang dituduh
telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau kasus
penangkapan dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di
Garut yang dituduh sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib
ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria. Dengan
merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) negara itu
tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali lagi hal itu pun bisa
menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat
yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu
dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus
sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat
sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan
tanahnya. Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana
tanah yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya
jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat
dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga
merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan
Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal
(sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang
mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki
bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen
legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus sengketa
tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus
Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus,
sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi
salah prosedur).
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga)
faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu :
a) Sistem administrasi
pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Masalah ini
muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena
banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah.
b) Distribusi kepemilikan
tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah
ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan
ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini,
masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling
berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi
yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.
c) Legalitas kepemilikan
tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa
memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh
jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal
besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah,
tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt
miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya,
bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya
di pengadilan tatkala muncul sengketa.
Ketetapan
MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada
pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria. Adalah sudah
selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang tersimpan di dalam
instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan, dengan
prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri tentunya.
Sementara itu, gagasan untuk membentuk
kelembagaan dan mekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah semacam
Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa Agraria dan juga pembentukan lembaga
sejenis di daerah sebagaimana yang pernah diusulkan oleh berbagai kalangan,
kiranya menjadi relevan pula untuk semakin didesakkan, terlebih jika pemerintah
memang benar-benar berkehendak untuk menjalankan reforma agraria dan menangani
permasalahan agraria secara serius. Belajar dari tragedi Pasuruan, jika Badan
Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala
nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak
jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian
yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Negara mengatur pengelolaan sumber daya
agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sampai hari ini barangkali
masih hanya sebatas retorika. Yang kerap terjadi justru sebaliknya dimana
rakyat yang kehilangan kemakmuran sebesar-besarnya.
Analisis kasus dari :
https://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/analisis-hukum-terhadap-kasus-sengketa-tanah-proyek-pemukiman-tni-al-di-pasuruan-dihubungkan-dengan-undang-undang-nomor-5-tahun-1960-tentang-pokok-agraria/
Komentar
Posting Komentar